Peneliti Smart City: 7 Kesalahan Kota yang Sering Dilakukan

SCCIC.ID, (16/03) – Dalam acara halfday workshop hasil Rating Kota Cerdas Indonesia 2017 yang kembali dilakukan oleh Living Lab Smart City and Community Innovation Center ITB, Peneliti Smart City ITB, Ryan A. Nugraha menjelaskan bahwa ada beberapa kesalahan kota yang sering dilakukan kota. Hal tersebut disampaikan oleh Ryan dalam paparannya kepada perwakilan dari Kota Makassar dan Kota Manado, di SCCIC Living Lab ITB pada kamis, (15/03). “Dalam membangun smart city, ada tujuh kesalahan umum yang sering dilakukan kota”, ujar Ryan dalam pembahasannya di SCCIC Living Lab.

Hadir dalam pembahasan tersebut, yakni Kepala Diskominfo Kota Makassar, Ismail Hajiali, Kepala Seksi Aplikasi Diskominfo Makassar Jusman, Kasi Aplikasi dan Telematika Muhammad Hamzah, dan Kabid Aptika Diskominfo Kota Manado.

Kesalahan kota yang sering dilakukan tersebut ialah:

  1. Tidak memulai dari basic value, malah fokus ke additional value.
  2. Tidak memulai dengan yang harus diperbaiki.
  3. Tidak menerapkan manajemen (terutama keberlanjutan).
  4. Tidak mempersiapkan inisiatif secara serius dan didukung enabler yang holistic.
  5. Tidak mengeliminasi inisiatif kontra produktif.
  6. Tidak mengajak partisipasi public secara efektif.
  7. Tidak mulai dari yang kecil (scope terbatas).

Rating Kota Cerdas Indonesia tahun 2017 (RKCI 2017) mengukur 93 kota (kecuali kota administratif Jakarta) di Indonesia, dengan klasifikasi kota besar yaitu kota dengan penduduk di atas 1 juta jiwa sebanyak 14 kota; kota sedang yaitu kota dengan penduduk diantara 200 ribu hingga 1 juta jiwa sebanyak 43 kota dan kota kecil yaitu kota dengan penduduk di bawah 200 ribu jiwa sebanyak 36 kota.

Tahap seleksi terdiri dari evaluasi mandiri dimana kota diminta untuk mengisi kuesioner secara online; penilaian hasil evaluasi mandiri; validasi dan kunjungan langsung ke kota-kota finalis; pemetaan kota berdasarkan potensi masing-masing dan pengumuman hasil pemetaan kota.

Pemetaan dilakukan dengan menilai proses pengelolaan kota dari sisi utilisasi sumber daya, manajemen, integrasi dan keberlanjutan, e-government, strategi dan rencana serta menilai kualitas hidup dari sisi pelayanan, indeks kualitas hidup dan indeks lainnya, persepsi masyarakat dan penilaian terhadap inovasi kota.

Menurut Yuti Ariani, peneliti smart city lainnya, dari rata-rata 31 kota yang dikunjungi oleh tim Surveyor RKCI 2017, kriteria rating kesehatan cerdas memiliki nilai tertinggi dibandingkan kriteria rating lainnya. Sedangkan kriteria rating Pengembangan dan Pengelolaan Kota, Kesiapan Integrasi dan Ekosistem Teknologi Finansial merupakan kategori dengan nilai terendah.

Menggerakan Masyarakat dalam Keterlibatan Membangun Smart City

SCCIC.ID, (21/02) – University of Technology Sydney dan Institut Teknologi Bandung berkolaborasi bersama untuk mengembangkan kota cerdas. Prasyarat utama dari terwujudnya kota cerdas adalah munculnya keterlibatan masyarakat dan seluruh komponen untuk bersama-sama membangun kota.

Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi pada 2030 dunia akan memiliki 41 megakota dengan 10 juta penduduk atau lebih. Karena itu, diperlukan gerakan bersama untuk membangun kota cerdas yang bisa memenuhi kebutuhan warganya dengan layak.

“Kota cerdas terdiri atas tiga tahapan. Pertama, kota cerdas 1,0 yang melihat teknologi sebagai solusi. Kedua, kota cerdas 2,0 yang melihat kepala daerah mereka sebagai sosok panutan utama. Ketiga, kota cerdas 3,0 yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mau terlibat dalam membangun kota. Jadi, pengembangan kota cerdas bukan sekedar membangun teknologi, melainkan bagaimana seluruh komponen mau mendukung dan terlibat,” kata Ketua Smart Indonesia Initiatives ITB Suhono Harso Supangkat, Rabu (31/1), di Jakarta.

Kerja sama antara UTS dan ITB sudah berlangsung sejak tahun lalu saat kedua lembaga menggelar seminar dan workshop “Role of Smart Citizenship in Smart Cities: Lessons Learned” di Jakarta. Melalui kerja sama ini, UTS dan ITB akan mengembangkan sebuah kerangka kerja untuk membantu kota-kota di Indonesia, Australia, dan Asia Pasifik dalam menciptakan solusi kota cerdas.

Menurut Dekan Kerja Sama Internasional dan Eksternal UTS Anthony Burke, selama ini pengembangan kota-kota di dunia cenderung berkiblat ke belahan dunia sebelah utara, seperti di Eropa dan sekitarnya, namun, untuk bisa mewujudkan kota cerdas, mestinya dibutuhkan riset yang mendalam di setiap kawasan mengingat setiap kota memiliki ciri dan kekhasan tersendiri.

Proyek pengembangan kota cerdas menekankan dua tujuan, yaitu tercapainya kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

“Siapakah itu yang disebut orang bahagia? Apakah orang kaya? Menurut riset, orang bahagia adalah mereka yang hidup nyaman, merasakan kepuasan dan kepenuhan hidup, serta mampu menyikapi stres sebagai tantangan, bukan masalah,” ujar Guru Besar Kesehatan Mental Fakultas Kesehatan UTS Prasuna Reddy.

Selain dengan ITB, UTS melalui lembaganya, UTS insearch, juga bekerja sama dengan Universitas Brawijaya, Malang, dalam pengajaran bahasa Inggris akademik bagi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang akan studi ke Australia.

Tahun 2017, UTS Insearch menawarkan beasiswa sebesar 300.000 dollar Australia kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia./Apic.city